HUKUM PERJANJIAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang

Perlu dipahami bahwa suatu perjanjian seharusnya dilakukan dengan iktikad baik bagi mereka yang melakukannya. Perjanjian yang dibuat secara lisan/tidak tertulis maupun secara tertulis tetap mengikat para pihak dan tidak menghilangkan, baik hak dan kewajiban dari pihak yang bersepakat.

Perjanjian itu menimbulkan perikatan, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Dalam suatu perjanjian yang dalam hal ini jelas menimbulkan hak dan kewajiban, maka diperlukan perundang-undangan yang mengatur perjanjian dan dapat melindungi kedua belah pihak yang melakukannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PERJANJIAN
Secara umum, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Ketentuan pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan- kelemahan itu adalah seperti diuraikan di bawah ini:
a)      Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari perumusan, “satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
b)  Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus
c)  Pengertian perjanjian terlalu luas
d)  Tanpa menyebut tujuan

B. HUBUNGAN ANTARA PERIKATAN DAN PERJANJIAN
Perikatan adalah suatu Hubungan Hukum, antara dua orang atau dua pihak atau lebih, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Peristiwa perjanjian tersebut timbul dari suatu hubungan yang dinamakan perikatan.
C. SYARAT – SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga ia diakui oleh hukum (legally concluded contract). Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPdt, syarat- syarat sah perjanjian adalah sebagai berikut:
1)      Ada persetujuan kehendak antara pihak- pihak yang membuat perjanjian (consensus)
Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri terjadi secara bebas atau dengan kebebasan. Kebebasan bersepakat tersebut dapat terjadi secara tegas (mengucapkan kata/tertulis) atau secara diam (dengan suatu sikap/isyarat). Suatu perjanjian dikatakan tidak memenuhi unsur kebebasan apabila mengandung  salah satu dari 3 (tiga) unsur di bawah ini, yaitu :
a. Unsur paksaan (dwang)
         Paksaan ialah paksaan terhadap badan, paksaan terhadap jiwa, serta    paksaan lain yang dilarang oleh undang-undang.
b. Unsur kekeliruan (dwaling)
              Kekeliruan terjadi dalam 2 (dua) kemungkinan yaitu kekeliruan  
    terhadap orang (subjek hukum) dan kekeliruan terhadap barang (objek 
    hukum).
c. Unsur penipuan (bedrog)
              Apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang
    tidak benar.
Suatu perjanjian yang tidak mengandung kebebasan bersepakat sebab terdapat unsur paksaan dan/atau unsur kekeliruan, dan/atau unsur penipuan dapat dituntut pembatalannya sampai batas waktu 5 tahun sebagaimana dimaksud Pasal 1454 KUHPerdata.
2)      Ada kecakapan pihak- pihak untuk membuat perjanjian (capacity)

Seseorang dikatakan cakap hukum apabila telah berumur minimal 21 tahun, atau apabila belum berumur 21 tahun namun telah melangsungkan perkawinan. Selain itu seseorang itu tidaklah boleh sedang ditaruh dalam pengampuan (curatele), yaitu orang yang telah dewasa tetapi dianggap tidak mampu sebab pemabuk, gila, atau boros. Untuk lebh jelasnya dapat dilihat ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata yang perlu pula dihubungkan dengan Pasal 330 KUHPerdata.
     3) Ada suatu hal tertentu (a certain subject matter)
Ketentuan mengenai hal tertentu menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Dalam membuat perjanjian antara para subjek hukum itu menyangkut mengenai objeknya, apakah menyangkut benda berwujud, tidak berwujud, benda bergerak, atau benda tidak bergerak. Hal tertentu mengenai objek benda oleh para pihak biasanya ditegaskan dalam perjanjian mengenai jenis barang, kualitas dan mutu barang, buatan pabrik dan dari negara mana, jumlah barang, warna barang, dan lain sebagainya.
     4) Ada suatu sebab yang halal (legal cause)
Sebab yang halal/causa yang halal mengandung pengertian bahwa pada benda (objek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat.
Syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dan syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut sebagai syarat subjektif, yaitu syarat untuk subjek hukum atau orangnya. Syarat suatu hal tertentu dan syarat suatu sebab yang halal merupakan syarat objektif, yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya.

D. SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
 a) kesempatan penarikan kembali penawaran;
 b) penentuan resiko;
 c) saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
 d) menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUH Perdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
            Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak.
            Seorang dikatakan memberikan persetujuanannya/kespakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Marian Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antar pihak-pihak. pihak-pihak. Ang Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan Offerte(tawaran). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan Acceptatie(Penerimaan).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akseptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)                                           .
           Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran
telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.                         .
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori)

           Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya
kontrak. Tanggal cap pos dapat diartikan sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).                       .
          
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
 d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie)                             .
           
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka.Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.

E. ASAS-ASAS YANG MENDASARI HUKUM PERJANJIAN
     Di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah:
1.      Asas kebebasan Berkontrak
2.      Asas Konsensualisme
3.      Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
4.      Asas Itikad Baik
5.      Asas Kepribadian
     1). Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas Kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1.      membuat atau tidak membuat perjanjian;
2.      mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3.      menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4.      menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
     Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
     Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.
 
    2). Asas Konsensualisme (Concensualism)                              .
             Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.                                              .
             Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.                  
3). Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)            
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi     terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
     Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan.
     Namun,dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
    4). Asas Itikad Baik (Good Faith)
     Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi         menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak.
Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma yang         objektif.
     5). Asas Kepribadian (Personality)                                      
     Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang     tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.                                                     
             Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara piha
k yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri,     atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.
Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang lingkup yang luas.
F. BATALNYA PERJANJIAN
    PEMBATALAN bisa dibedakan ke-dalam 2 terminologi yang memiliki konsekuensi Yuridis, yaitu:
1). Null and Void
Dari awal perjanjian itu telah batal, atau dianggap tidak pernah ada, apabila syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjian itu bataLdemi hukum, dari semula tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
2). Voidable
Bila salah satu syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjiannya bukannya batal demi hukum, tetapi salah satu puhak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).
Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan wanprestasi atau ingkar janji.
Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu   seperti yang disebutkan dalam kontrak. Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
    1). Tidak memenuhi prestasi sama sekali
    2). Terlambat memenuhi prestasi, dan
    3). Memenuhi prestasi secara tidak sah.
Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara umum dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
perjanjian seharusnya dilakukan dengan iktikad baik bagi mereka yang melakukannya. Dalam suatu perjanjian yang dalam hal ini jelas menimbulkan hak dan kewajiban, maka dibentuklah perundang-undangan yang mengatur perjanjian yang perlu dipahami pihak yang melakukan perjanjian agar kemungkinan pelanggaran dalam perjanjian yang dapat dihindari dan melindungi kedua belah pihak yang melakukannya.

Refrensi:

 

Komentar

Postingan Populer